Kaitan Reiki dan Nyeri
Reiki merupakan sebuah terapi pelengkap alternatif (complementary and alternative therapy) untuk mendukung terapi medis. Terapi reiki bukanlah terapi utama, dan bukan untuk menggantikan terapi medis; melainkan reiki adalah terapi yang melengkapi terapi medis. Reiki dapat diklasifikasikan menjadi biofield energy therapy dan secara saintifik, masih dikategorikan sebagai pseudosains. Menurut Thrane dan Cohen (2014), reiki dapat digunakan untuk menurunkan nyeri dan kecemasan di manusia. Tentunya apa yang terlihat dan terjadi di manusia juga berlaku di hewan. Banyak study mengenai reiki masih dilakukan di manusia.
Menurut Dogan (2018), nyeri merupakan sebuah gejala umum dan berdampak pada fisiologis, psikologis dan mental. Menurut Tennant (2013), nyeri dapat menyebabkan aktivasi sistem HPTAG (hypothalamic-pituitary-adrenal-thyroid-gonadal) tubuh manusia dan hewan, dimana sistem HPTAG merupakan mekanisme pengontrol stress utama di dalam tubuh. Signal nyeri (khususnya severe pain) dari sebuah bentuk cedera yang awalnya dikenali di sistem saraf tepi dapat mencapai otak dan kemudian akan mengaktivasi 3 releasing hormone di hipotalamus. Ketiga releasing hormone tersebut adalah corticotropin releasing hormone (CRH), gonadal releasing hormone (GRH) dan thyroid releasing hormone (TRH). Ketiga hormon ini akan menyebabkan kelenjar pituitari anterior melepaskan adrenal corticotropin hormone (ACTH), follicle stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH) dan thyroid stimulating hormone (TSH) ke peredaran darah. Organ target dari hormon-hormon tersebut adalah kelenjar adrenal, gonad dan thyroid dengan tujuan melepaskan hormon untuk kontrol rasa nyeri; diantaranya adalah cortisol, pregnenolone, DHEA, testosterone, progesterone, estrogen, triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4). Hormon-hormon ini juga berperan dalam imunologi (kekebalan), anti inflamasi (anti peradangan) dan memiliki sifat regeneratif untuk persembuhan dan perlindungan sel. Apabila kondisi nyeri meningkat, maka hormon yang dilepaskan akan mengalami peningkatan, dan jika nyeri semakin berlanjut, maka sistem hormon tidak mampu men-toleransi, sehingga pada akhirnya kadar hormon akan menurun dengan kadar di bawah normal.
Disebutkan di paragraf pertama bahwa reiki memiliki efek menurunkan nyeri. Apabila ditelusur lebih mendalam, maka mekanisme reiki dalam menurunkan rasa nyeri adalah melalui sistem HPTAG (hypothalamic-pituitary-adrenal-thyroid-gonadal) tubuh, baik manusia dan hewan. terapi reiki dimungkinkan bekerja dengan penyeimbangan energi di chakra yang melingkupi HPTAG tersebut; diantaranya adalah :
Crown Chakra, areanya melingkupi hipotalamus dan kelenjar pituitari di otak.
Third Eye Chakra, areanya melingkupi kelenjar pituitari.
Throat Chakra, areanya melingkupi kelenjar thyroid.
Solar Plexus Chakra dan Sacral Chakra, areanya melingkupi kelenjar adrenal dan gonadal.
Melalui reiki, terjadi penyaluran energi (biofield energy therapy) dari praktisi reiki ke individu resipien. Energi ini akan mempengaruhi keseimbangan kelenjar endokrin (sistem HPTAG), sehingga hormon yang dilepaskan juga mengalami keseimbangan. Adanya keseimbangan hormon inilah, maka dapat dilakukan manajemen nyeri.
Referensi :
- Billot M, Daycard M, Wood C, Tchalla A. 2019. Reiki therapy for pain, anxiety and quality of life. BMJ Supportive and Palliative Care 9:434-438.
- Dogan MD. 2018. The effect of reiki on pain: A meta-analysis. Complementary Therapies in Medicine 31:384-387.
- Tennant F. 2013. The physiologic effects of pain on the endocrine system. Pain and Therapy 2:75-86.
- Thrane S, Cohen SM. 2014. Effect of reiki therapy on pain and anxiety in adults: an in-depth literature review of randomized trials with effect size calculations. Pain Management Nursing 15:897-908.
Comments
Post a Comment